Senin, 28 Maret 2011

HUKUM PERJANJIAN

Standar Kontrak (Hukum Perjanjian)
1. Latar Belakang
Upaya manusia untuk memenuhi berbagai kepentingan bisnis, diantaranya adalah mewujudkannya dalam bentuk kontrak bisnis. Dalam bisnis, kontrak merupakan bentuk perjanjian yang dibuat secara tertulis yang didasarkan kepada kebutuhan bisnis. Kontrak atau contracts (dalam bahasa Inggris) dan overeenskomst (dalam Bahasa Belanda) dalam pengertian yang lebih luas kontrak sering dinamakan juga dengan istilah perjanjian.

Istilah “kontrak” atau “perjanjian” dalam sistem hukum nasional memiliki pengertian yang sama, seperti halnya di Belanda tidak dibedakan antara pengertian “contract” dan “overeenkomst”. Kontrak adalah suatu perjanjian (tertulis) antara dua atau lebih orang (pihak) yang menciptakan hak dan kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan hal tertentu.

Dalam hukum kontrak sendiri terdapat asas yang dinamakan kebebasan berkontrak. Menurut Pasal 1338 Ayat (1) KUH Perdata menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dari bunyi pasal tersebut sangat jelas terkandung asas :
a. Konsensualisme, adalah perjanjian itu telah terjadi jika telah ada konsensus antara pihak-pihak yang mengadakan kontrak;
b. Kebebasan berkontrak, artinya seseorang bebas untuk mengadakan perjanjian, bebas mengenai apa yang diperjanjikan, bebas pula menentukan bentuk kontraknya;
c. Pacta Sun Servanda, artinya kontrak itu merupakan Undang-undang bagi para pihak yang membuatnya (mengikat).

Asas kebebasan berkontrak adalah refleksi dari perkembangan paham pasar bebas yang dipelopori oleh Adam Smith. Dalam perkembangannya ternyata kebebasan berkontrak dapat mendatangkan ketidakadilan karena prinsip ini hanya dapat mencapai tujuannya, yaitu mendatangkan kesejahteraan seoptimal mungkin, bila para pihak memiliki bargaining power yang seimbang.

Communis opinio doctorum selama ini dengan bertitik tolak pada pasal 1313 KUH Perdata menyatakan bahwa “perjanjian adalah suatu perbuatan hukum yang berisi dua” (“een tweezijdige rechtshandeling”) untuk menimbulkan persesuaian kehendak guna melahirkan akibat hukum. Yang dimaksud dengan satu perbuatan hukum yang berisi dua ialah penawaran (aanbod/offer) dan penerimaan (aanvaarding acceptance). Penawaran dan penerimaan itu masing-masing pada hakekatnya adalah perbuatan hukum. Sedangkan yang dimaksud dengan perbuatan hukum adalah perbuatan subyek hukum yang didasarkan pada kehendak yang dinyatakan untuk menimbulkan akibat hukum yang dikehendaki dan diakui oleh hukum. Berarti masing-masing pihak seyogyanya mempunyai kebebasan kehendak. Itulah sebabnya Buku III KUH Perdata dikatakan menganut sistem terbuka dan didasarkan pada asas kebebasan berkontrak.

Tetapi kebebasan kehendak tersebut dalam kenyataanya seringkali didapati salah satu pihak yang menentukan syarat didalam suatu kontrak, sedangkan pihak lain hanya dapat menerima atau menolak (misalnya dalam kontrak standar: syarat umum dari bank, syarat penyerahan dari produsen, dan sebagainya). Tidak dipungkiri bahwa kegiatan bisnis tersebut menjadi latar belakang tumbuhnya perjanjian baku. Menurut Gras dan Pitlo, latar belakang lahirnya perjanjian baku antara lain merupakan akibat dari perubahan susunan masyarakat. Masyarakat sekarang bukan lagi merupakan kumpulan individu seperti pada abad XIX, tetapi merupakan kumpulan dari sejumlah ikatan kerja sama (organisasi). Perjanjian baku lazimnya dibuat oleh organisasi-organisasi poerusahaan. Hal inilah yang membuat perjanjian baku sering telah distandarisasi isinya oleh pihak-pihak ekonomi kuat, sedangkan pihak lainnya hanya diminta untuk menerima atau menolak isinya. Apabila debitur menerima isinya pernjanjian tersebut, ia menandatangani perjanjian tersebut, tetapi apabila ia menolak, perjanjian itu sianggap tidak ada karena debitur tidak menandatangani perjanjian itu. Disinilah letak kontradiksi antara asas kebebasan berkontrak dengan pemberlakuan pelaksanaan perjanjian baku.

Untuk itulah perlu adanya penelitian dan pemahaman terhadap hukum kontrak yang meninjau dasar hukum pemberlakuan perjanjian baku/standard contract dengan mengenyampingkan asas kebebasan berkontrak.

2. Permasalahan
Dari uraian latar belakang diatas dapat dirumuskan permasalahan yaitu apa yang menjadi dasar berlakunya perjanjian baku/standar kontrak ditinjau dari sudut pengenyampingan asas kebebsan berkontrak.

3. Metode Penelitian
Dalam penulisan makalah ini metode yang digunakan adalah metode analisis deskriptif, dimana dipaparkan mengenai dasar hukum pemberlakuan perjanjian baku dengan mengenyampingkan asas kebebasan berkontrak.

Macam-Macam Perjanjian
Macam-macam perjanjian obligator ialah sebagai berikut:

a. Perjanjian dengan cumua-Cuma dan perjanjian dengan beban.

- Perjanjian dengan Cuma-Cuma ialah suatu perjanjian dimana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada yang lain tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri. (Pasal 1314 ayat (2) KUHPerdata).

- Perjanjian dengan beban ialah suatu perjanjian dimana salah satu pihak memberikan suatu keuntungan kepada pihak lain dengan menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri.

b. Perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik.

- Perjanjian sepihak adalah suatu perjanjian dimana hanya terdapat kewajiban pada salah satu pihak saja.

- Perjanjian timbal balik ialah suatu perjanjian yang memberi kewajiban dan hak kepada kedua belah pihak.

c. Perjanjian konsensuil, formal dan riil.

- Perjanjian konsensuil ialah perjanjian dianggap sah apabila ada kata sepakat antara kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian tersebut.

- Perjanjian formil ialah perjanjian yang harus dilakukan dengan suatu bentuk tertentu, yaitu dengan cara tertulis.

- Perjanjian riil ialah suatu perjanjian dimana selain diperlukan adanya kata sepakat, harus diserahkan.

d. Perjanjian bernama, tidak bernama, dan campuran.

- Perjanjian bernama ialah suatu perjanjian dimana UU telah mengaturnya dengan ketentuan-ketentuan khusus yaitu dalam Bab V sampai bab XIII KUHerdata ditambah titel VIIA.

- Perjanjian tidak bernama ialah perjanjian yang tidak diatur secara khusus.

- Perjanjian campuran ialah perjanjian yang mengandung berbagai perjanjian yang sulit di kualifikasikan.

Syarat Sah Perjanjian
Untuk menyusun suatu konsep perjanjian yang baik, mutlak diperlukan dasar-dasar pengetahuan teori beserta dengan berbagai pengetahuan yang terkait baik secara langsung maupun tidak langsung, misalnya perjanjian asuransi berkaitan dengan undang-undang perasuransian, perjanjian lisensi berkaitan dengan undang-undang hak cipta maupun undang-undang HKI lainnya, dan lain sebagainya.
Suatu perjanjian mengikat secara hukum apabila telah dipenuhi syarat-syarat berdasarkan pasal 1320 BW, yaitu :
1.Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
“Kesepakatan “ mengandung pengertian bahwa para pihak saling menyatakan kehendak masing-masing untuk menutup suatu perjanjian. Pernyataan kehendak bukan hanya dengan kata-kata yang tegas dinyatakan secara tegas, tetapi juga diwujudkan dengan adanya perbuatan yang mencerminkan adanya kehendak untuk mengadakan perjanjian. Ditutupnya perjanjian karena adanya pertemuan antara penawaran yang dilakukan oleh salah satu pihak dan penerimaan atas tawaran tersebut oleh pihak lainnya.
Perjanjian yang dibuat oleh para pihak harus ditutup tanpa adanya paksaan maupun kesesatan terhadap maksud perjanjian, benda/obyek perjanjian dan akibat hukum dari perjanjiannya. Karena kekeliruan terhadap hal ini berakibat cacatnya perjanjian.
2.Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Subyek hukum dalam suatu perjanjian dapat terdiri dari badan hukum ataupun orang. Kecakapan melakukan perbuatan hukum dapat dirumuskan sebagai kemungkinan melakukan perbuatan hukum secara mandiri yang mengikat. Pasal 330 BW berlaku bagi syarat seseorang melakukan perbuatan hukum, yaitu 21 tahun atau sudah pernah menikah, bagi badan hukum berlaku ketentuan dalam undang-undang nomor 40 tahun 2007 tentang perseroan terbatas, yang menyatakan bahwa yang berhak mewakili suatu perseroan adalah direksi yang telah ditunjuk oleh ADART perusahaan atau pun orang yang telah ditunjuk untuk mewakili.
3.Suatu hal tertentu/obyek tertentu
Pernyataan-pernyataan yang sifat dan luasnya tidak dapat ditentukan, tidak mempunyai daya mengikat. Misalnya janji untuk menjual macam-macam rumah tanpa ditentukan rumah yang mana yang dimaksudkan sebagai obyek perjanjian.
4.Suatu sebab yang diperbolehkan
Adanya obyek tertentu dan sebab yang diperbolehkan merupakan hal-hal yang berkaitan dengan adanya itikad baik dari para pihak, untuk melindungi para pihak pembuat perjanjian sendiri. Terdapat suatu perjanjian tanpa causa/sebab apabila sejak penutupan perjanjian tidak dapat diwujudkan. Namun, sebab yang diperbolehkan ini tentu ya juga terikat dengan asas kebebasan berkontrak, yaitu para pihak bebas menentukan isi hubungan hukum, asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang maupun kesusilaan dan ketertiban masyarakat.

tidak terpenuhinya syarat 1 dan 2 menyebabkan suatu perjanjian tidak memenuhi syarat subyektif dan berakibat perjanjian dapat dibatalkan, sedangkan tidak terpenuhinya syarat 3 dan 4 menyebakan tidak terpenuhinya syarat obyektif dan berakibat suatu perjanjian batal demi hukum.
Saat lahirnya Perjanjian
Ada beberapa teori yang bisa digunakan untuk menentukan saat lahirnya kontrak yaitu:
a. Teori Pernyataan (Uitings Theorie)
Menurut teori ini, kontrak telah ada/lahir pada saat atas suatu penawaran telah ditulis surat jawaban penerimaan. Dengan kata lain kontrak itu ada pada saat pihak lain menyatakan penerimaan/akseptasinya.
b. Teori Pengiriman (Verzending Theori).
Menurut teori ini saat pengiriman jawaban akseptasi adalah saat lahirnya kontrak. Tanggal cap pos dapat dipakai sebagai patokan tanggal lahirnya kontrak.
c. Teori Pengetahuan (Vernemingstheorie).
Menurut teori ini saat lahirnya kontrak adalah pada saat jawaban akseptasi diketahui isinya oleh pihak yang menawarkan.
d. Teori penerimaan (Ontvangtheorie).
Menurut teori ini saat lahirnya kontrak adalah pada saat diterimanya jawaban, tak peduli apakah surat tersebut dibuka atau dibiarkan tidak dibuka. Yang pokok adalah saat surat tersebut sampai pada alamat si penerima surat itulah yang dipakai sebagai patokan saat lahirnya kontrak.
Pembatalan Perjanjian
Suatu perjanjian dapat dibatalkan oleh salah satu pihak yang membuat perjanjian atau pun batal demi hukum. Perjanjian yang dibatalkan oleh salah satu pihak biasanya terjadi karena:
-Adanya suatu pelanggaran dan pelanggaran tersebut tidak diperbaiki dalam jangka waktu yang ditentukan atau tidak dapat diperbaiki.
-Pihak pertama melihat adanya kemungkinan pihak kedua mengalami kebangkrutan atau secara financial tidak dapat memenuhi kewajibannya.
-Terkait resolusi atau perintah pengadilan
-Terlibat hukum
-Tidak lagi memiliki lisensi, kecakapan atau wewenang dalam melaksankan perjanjian
Pelaksanaan perjanjian
Itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata merupakan ukuran objektif untuk menilai pelaksanaan perjanjian, artinya pelaksanaan perjanjian harus harus megindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Salah satunya untuk memperoleh hak milik ialah jual beli. Pelaksanaan perjanjian ialah pemenuhan hak dan kewajiban yang telah diperjanjikan oleh pihak-pihak supaya perjanjian itu mencapai tujuannya. Jadi perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa. Perjanjian yang telah dibuat secara sah mengikat pihak-pihak, perjanjian tersebut tidak boleh diatur atau dibatalkan secara sepihak saja.
Perjanjian adalah suatu perbuatan dimana kedua belah pihak sepakat untuk saling mengikatkan diri satu sama lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar